Dalam Muktamar ke-9 NU di Banyuwangi, Jawa Timur pada 1934,
mulai tampak peran tokoh-tokoh muda NU berpandangan luas seperti Mahfudz Siddiq,
Wahid Hasyim, Thohir Bakri, Abdullah Ubaid, dan anak-anak muda lainnya. Mereka
ikut menyampaikan pandangannya mengenai berbagai masalah kemasyarakatan dan
kebangsaan.
Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) dari
situasi konflik internal dan tuntutan kebutuhan alamiah. Berawal dari perbedaan
antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul
Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam,
pembinaan mubaligh, dan pembinaan kader.
KH Abdul Wahab Chasbullah, tokoh tradisional dan KH Mas
Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda
justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan
Islam. Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung
KH Abdul Wahab Chasbullah –yang kemudian menjadi pendiri NU– membentuk wadah
dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).
Organisasi tersebut yang menjadi cikal bakal berdirinya
Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti
Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama
(ANO).
Nama Ansor ini merupakan saran KH Wahab Chasbullah, “ulama
besar” sekaligus guru besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama
kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah
berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah.
Dengan demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah
serta teladan terhadap sikap, perilaku dan semangat perjuangan para sahabat
Nabi yang mendapat predikat Ansor tersebut.
Gerakan ANO (yang kelak disebut GP Ansor) harus senantiasa
mengacu pada nilai-nilai dasar Sahabat Ansor, yakni sebagai penolong, pejuang
dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam.
Inilah komitmen awal yang harus dipegang teguh setiap
anggota ANO (GP Ansor). Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara
formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Hubungan ANO
dengan NU saat itu masih bersifat hubungan pribadi antar tokoh.
Baru pada Muktamar ke-9 NU di Banyuwangi, tepatnya pada
tanggal 10 Muharam 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai
bagian (departemen) pemuda NU dengan pengurus antara lain: Ketua H.M. Thohir
Bakri; Wakil Ketua Abdullah Oebayd; Sekretaris H. Achmad Barawi dan Abdus
Salam.
Dalam perkembangannya secara diam-diam khususnya ANO Cabang
Malang, mengembangkan organisasi gerakan kepanduan yang disebut Banoe (Barisan
Ansor Nahdlatul Oelama) yang kelak disebut Banser (Barisan Serbaguna). (Choirul
Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010)
Dalam Kongres II ANO di Malang pada 1937, Banoe
menunjukkan kebolehan pertama kalinya dalam baris berbaris dengan mengenakan
seragam dengan Komandan Moh. Syamsul Islam yang juga Ketua ANO Cabang Malang.
Sedangkan instruktur umum Banoe Malang adalah Mayor TNI Hamid Rusydi, tokoh
yang namanya tetap dikenang, bahkan diabadikan sebagai nama salah satu jalan di
kota Malang.
Penulis : Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon
Sumber : NU Online