Tanggal 1 Oktober
1965 mulai pukul 03.30 sampai 05.00, gerakan makar PKI yang dipimpin oleh
Letkol Untung menculik para Jenderal AD yang difitnah sebagai anggota Dewan
Jenderal. Letjen Ahmad Yani, Brigjen DI Panjaitan, Mayjen Soetoyo, Mayjen
Soeprapto, Brigjen S. Parman, dan Mayjen Haryono MT mereka culik dan bunuh
(Puspen AD, 1965: 9-10).
Sekalipun aksi itu
terjadi 1 Oktober 1965, PKI menamakan aksinya itu dengan nama “Gerakan 30
September”. Tanggal 1 Oktober itu juga, Letkol Untung menyatakan bahwa
kekuasaan berada di tangan Dewan Revolusi. Untung juga menyatakan kabinet
demisioner. Pangkat para jenderal diturunkan sampai setingkat letnan kolonel,
dan prajurit yang mendukung Dewan Revolusi dinaikkan pangkat satu sampai dua
tingkat.
Aksi sepihak Letkol
Untung yang menculik para jenderal dan membentuk Dewan Revolusi serta
mendemisioner kabinet, jelas merupakan upaya kudeta. Sebab dalam Dewan Revolusi
itu tidak terdapat nama Presiden Soekarno. Kabinet yang didemisioner pun adalah
kabinet Soekarno dan jenderal-jenderal yang diculik pun adalah
jenderal-jenderal yang setia pada Soekarno. Bahkan Jenderal A.H. Nasution, adalah
jenderal yang pernah ditugasi Soekarno untuk menumpas PKI dalam pemberontakan
di Madiun 1948.
Menghadapi aksi
sepihak Letkol Untung, tanggal 1 Oktober 1965 itu juga, PBNU mengeluarkan
pernyataan sikap untuk mengutuk gerakan tersebut. Pada 2 Oktober 1965, pimpinan
muda NU, Subchan Z.E., membentuk Komando Aksi Pengganyangan Kontra Revolusi
Gerakan 30 September disingkat KAP GESTAPU yang mengutuk dan mengganyang aksi
kudeta 1 oktober 1965 itu.
Tanggal 2 Oktober
itu pula Mayjen Sutjipto, Ketua Gabungan V KOTI, mengundang wakil-wakil ormas
dan orpol yang setia pada Pancasila ke Mabes KOTI di Jln. Merdeka Barat. Rapat
kemudian memutuskan untuk secara bulat berdiri di belakang Jenderal Soeharto
dan Angkatan Darat (O.G. Roeder, 1987: 48-49). Sementara di Kediri, tanggal 2
Oktober 1965 sudah tersebar pamflet-pamflet yang menyatakan bahwa dalang di
balik peristiwa 1 Oktober 1965 adalah PKI.
BENTROK BANSER VS
PKI
10 Oktober 1965,
sekalipun PKI menyatakan bahwa peristiwa 1 Oktober yang dinamai ‘Gerakan 30
September’ itu adalah persoalan intern AD dan PKI tidak tahu-menahu, anggota
Banser di kabupaten Malang mulai menurunkan papan nama PKI beserta
ormas-ormasnya. Hari itu juga, tokoh-tokoh PKI di daerah Turen mulai diserang
Banser dan dibunuh. Di antara tokoh PKI yang terbunuh saat itu adalah Suwoto,
Bowo, dan Kasiadi. Palis, kawan akrab Bowo, karena takut dibunuh Banser malah
bunuh diri di kuburan desa Pagedangan.
11 Oktober 1965,
Banser beserta santri dari berbagai pesantren di Tulungagung menyerang PKI di
kawasan Pabrik Gula Mojopanggung. Sekitar 3 ribu orang PKI yang sudah bersiaga
dengan senjata panah, kelewang, tombak, pedang, clurit, air keras, dan
lubang-lubang di dalam rumah, berhasil dilumpuhkan. Tanpa melakukan perlawanan
berarti, pasukan PKI itu ditangkapi Banser dan disembelih. Para anggota Banser
dan santri yang usianya sekitar 13 – 16 tahun itu, berhasil melumpuhkan para jagoan
PKI.
Pada 12 Oktober
1965, sekitar 3 ribu orang anggota Banser mengadakan apel di alun-alun Kediri.
Setelah apel usai, mereka bergerak menurunkan papan nama PKI beserta
ormas-ormasnya di sepanjang jalan yang mereka lewati. Di markas PKI di desa
Burengan, telah siaga sekitar 5 ribu orang PKI dengan bermacam- macam senjata.
Iring-iringan Banser yang dipimpin Bintoro, Ubaid dan Nur Rohim itu kemudian
dihadang oleh PKI. Terjadi bentrokan berdarah dalam bentuk tawuran massal.
Sekitar 100 orang PKI di sekitar markas itu tewas. Sementara, di pihak Banser
tidak satupun jatuh korban. Dalam peristiwa itu, Banser mendapat pujian dari
Letkol Soemarsono, komandan Brigif 6 Kediri karena kemenangan mutlak Banser
dalam tawuran massal itu.
Pada 13 Oktober
1965, sekitar 10 ribu orang PKI di kecamatan Kepung, Kediri, melakukan unjuk
kekuatan dalam upacara pemakaman mayat Sikat tokoh PKI setempat yang tewas
dalam peristiwa di Burengan. Mereka menyatakan akan membalas kematian para
pimpinan mereka. Dan sore hari, dua orang santri dari pondok Kencong yang
pulang ke desanya di Dermo, Plosoklaten, dicegat di tengah jalan. Seorang
dibunuh. Tubuh dicincang. Seorang dikubur hidup-hidup.
Kematian dua orang
santri yang masih remaja itu, membuat Banser marah. Tapi mereka belum berani
menyerbu ke desa Dermo, karena kedudukan PKI di situ sangat kuat. Akhirnya,
Banser setempat meminta bantuan Banser dari pondok Tebuireng, Jombang. Dengan
kekuatan lima truk, Banser Tebuireng masuk ke desa Dermo. Truk mereka diberi
tulisan BTI singkatan dari Banser Tebu Ireng. Rupanya, PKI menduga bahwa BTI
itu adalah Barisan Tani Indonesia yang merupakan ormas mereka. Walhasil,
bagaikan siasat “kuda Troya”, pertahanan PKI di desa Dermo dihancurkan dari
dalam.
Pertarungan antara
Banser dengan PKI yang berakibat fatal bagi Banser adalah di Banyuwangi.
Ceritanya, Banser dari Muncar yang umumnya dari suku Madura dikenal amat
bersemangat mengganyang PKI. Itu sebabnya, pada 17 Oktober 1965, di bawah
pimpinan Mursyid, dengan kekuatan tiga truk mereka menyerang kubu PKI di
Karangasem. Di Karangasem, terjadi bentrok berdarah setelah Banser tertipu
dengan makanan beracun. Dalam bentrokan itu 93 orang Banser gugur. Sisanya
melarikan diri ke arah Jajag dan ke arah Cluring. Ternyata, Banser yang lari ke
Cluring dihadang PKI di desa itu. Sekitar 62 orang Banser dibantai dan
dimakamkan di tiga lubang dekat kuburan desa.
Pada 27 Oktober
1965, pemerintah mengeluarkan seruan agar masing-masing ormas tidak saling
membunuh dan melakukan aksi kekerasan. Siapa saja yang melakukan penyerangan
sepihak, akan diadili sebagai penjahat. Seruan itu dimanfaatkan oleh PKI.
Mereka melaporkan anggota Banser yang telah membunuh keluarga mereka. Dan
jadilah hari-hari sesudah 27 Oktober itu penangkapan dan pemburuan aparat
keamanan terhadap Banser.
PENUMPASAN PKI
Dalam bulan
November-Desember, setelah sejumlah pimpinan PKI seperti Brigjen Supardjo,
Letkol Untung, Nyono, Nyoto, dan Aidit diberitakan tertangkap, makin terkuaklah
bahwa perancang kudeta 1 Oktober 1965 adalah PKI. Saat-saat itulah pihak ABRI
khususnya AD mulai melakukan pembersihan dan penumpasan terhadap PKI beserta
ormas-ormasnya. Dan tangan kanan yang digunakan oleh pihak militer itu adalah
“anak didik” mereka sendiri dalam hal ini adalah Banser yang memiliki jumlah
anggota puluhan ribu orang.
Dalam suatu aksi
penangkapan dan penumpasan PKI di Kediri, misalnya, pihak AD hanya menurunkan
21 personil. Sedang Banser yang dilibatkan mencapai jumlah 20 ribu orang lebih.
Dengan jumlah yang besar itu, diadakan operasi yang disebut “Pagar Betis” yakni
wilayah kecamatan Kepung dikepung oleh Banser dalam jarak satu meter tiap
orang. Dengan cara pagar betis itulah, PKI tidak dapat lolos. Sekitar 6000
orang PKI tertangkap (“Banser Berjihad Menumpas PKI” 1996).
Penangkapan
besar-besaran juga terjadi di Banyuwangi, Blitar, Malang, Tulungagung, Lumajang
dan kesemuanya melibatkan Banser. Mengenai keterlibatan Banser dalam menumpas
PKI, itu Komandan Kodim Kediri Mayor Chambali (alm) menyatakan bahwa hal itu
merupakan strategi ABRI yang ampuh. Sebab di tubuh Banser tidak tersusupi unsur
PKI. Sementara jika dalam penumpasan itu hanya ABRI yang dilibatkan, maka pihak
ABRI sendiri belum bisa menentukan siapa lawan dan siapa kawan karena banyaknya
anggota ABRI yang dibina PKI.
OPERASI TRISULA
Tahun 1968, ketika
PKI sudah dibubarkan dan pengikutnya ditumpas, terjadi aksi-aksi kerusuhan di
Blitar Selatan. Aksi-aksi kerusuhan yang berupa perampokan, penganiayaan,
penculikan, dan pembunuhan itu selalu mengambil korban warga NU dan PNI.
Sejumlah korban yang terbunuh, misalnya, Kiai Maksum dari Plosorejo,
Kademangan. Sesudah itu Imam Masjid Dawuhan. Tokoh PNI yang terbunuh adalah
Manun dari desa Dawuhan, kemudian Susanto Kepala Sekolah Panggungasri, dan
Sastro kepala Jawatan Penerangan Binangun. Puncaknya, 2 orang anggota Banser yang
sedang jaga keamanan di gardu di bunuh.
Para pimpinan Ansor
Blitar melaporkan kecurigaan mereka kepada Komandan Kodim akan bangkitnya
kembali kekuatan PKI di Blitar. Namun laporan itu tak digubris. Akhirnya,
mereka menghubungi seorang aktivis Ansor yang menjadi Danrem Madiun yakni
Kolonel Kholil Thohir. Oleh Kholil Thohir disiapkan 3 batalyon yaitu 521, 511,
dan 527 untuk operasi yang diberi nama sandi “Operasi Blitar Selatan”. Namun
operasi berkekuatan 3 batalyon itu tidak mampu mengatasi gerakan gerilya PKI.
Operasi kemudian
diambil alih oleh Kodam VIII/ Brawijaya yang menurunkan 5 batalyon yaitu 521,
511, 527, 513, dan 531 dengan Perintah Operasi No.01/2/1968. Namun operasi dari
Kodam inipun kurang efektif. Akhirnya, setelah dievaluasi diadakan operasi
besar-besaran dengan melibatkan semua unsur yakni kelima batalyon ditambah
unsur-unsur lain termasuk 10 ribu orang hansip dan warga masyarakat Blitar
Selatan. Surat perintah operasi itu bernomor 02/5/1968. Dan penting dicatat
bahwa 10 ribu orang Hansip itu adalah anggota Banser yang diberi pakaian
Hansip.
Dalam operasi
terpadu yang diberi nama sandi “Operasi Trisula” itu, sejumlah tokoh PKI
berhasil ditewaskan. Di antara mereka itu adalah Ir Surachman dan Oloan
Hutapea. Sedang mereka yang tertangkap di antaranya adalah Ruslan Wijayasastra,
Tjugito, Rewang, Kapten Kasmidjan, Kapten Sutjiptohadi, Mayor Pratomo, dan
beratus-ratus anggota PKI yang lain. Dan salah satu strategi operasi yang
paling efektif dalam Operasi Trisula itu adalah “Pagar Betis” yang melibatkan
10.000 orang Banser ditambah warga masyarakat yang kebanyakan juga anggota
Banser yang tidak kebagian seragam. Satu ironi mungkin terjadi dalam Operasi
Trisula itu, yakni selama operasi itu berlangsung telah ditangkap sejumlah 182
orang anggota Kodam VIII/Brawijaya di antaranya berpangkat perwira yang ikut
dalam operasi tersebut (Pusjarah ABRI, 1995, IV-B:101-108).
Sumber : ANSOR Jatim